Hari masih gelap, waktu masih menunjukkan pukul 4 pagi. Di hiruk pikuk pasar tradisional kota Madurai, tampak seorang pria dengan cekatan memilih sayur-sayuran dan menawar harga pada penjual. Sepintas tak ada yang membedakan sosok Narayanan Krishnan dengan ribuan orang yang memadati pasar itu. Namun siapa sangka, pria berumur 29 tahun ini adalah salah satu tokoh luar biasa yang pada akhir November lalu dinobatkan CNN sebagai pahlawan berkat kiprah dan dedikasinya dalam melayani jiwa-jiwa yang terlupakan di pojok-pojok kota Madurai, provinsi Tamil Nadu, India.
Krishnan adalah pria muda berbakat dengan karir yang cemerlang. Di tahun 2002, di usianya yang baru 21 tahun, ia sedang berada di jalur cepat untuk menjadi seorang top chef dengan bayaran tinggi. Saat itu ia telah bekerja di sebuah hotel bintang 5 di Bangalore dan tengah mendapatkan tawaran untuk sebuah posisi prestisius di Swiss, sebuah lompatan karir yang luar biasa. Sebelum berangkat untuk menyongsong posisi barunya, ia menyempatkan diri untuk pulang ke kampung halaman. Perjalanan itu merubah hidupnya selamanya.
Di kota kelahirannya, dalam perjalanannya berziarah ke kuil, Krishnan tertegun menyaksikan sesosok gelandangan tua di bawah sebuah jembatan. Sosok lemah itu sedang memakan (maaf) kotorannya sendiri karena kelaparan. Pemandangan itu menusuk batin, menggerakkan kakinya, ia pun kemudian memutuskan untuk menyuapkan makanan kepada gelandangan tua itu.
Sekembalinya dari kampung halaman, bayangan tentang gelandangan tua itu terus menghantuinya. “Apa tujuan hidupku? Di hotel berbintang aku memberi makan semua tamu-tamuku, namun di kampung halamanku begitu banyak orang-orang yang tak punya untuk apa-apa untuk dimakan. Mereka terlalu lemah bahkan untuk meminta-minta. Penderitaan mereka membangkitkan tekadku untuk melayani orang-orang yang terbuang..” ujarnya di sebuah wawancara dengan CNN. Seminggu kemudian ia berhenti dari pekerjaannya dan pulang ke Madurai.

Narayanan Krishnan (http://vivekbarunrai.blogspot.com/2010/11/vote-for-this-hero-from-india-at-cnn.html)
Hari-hari Krishnan dimulai dini hari, ia berbelanja ke pasar dan mulai memasak. Ketika hari mulai terang, ia mulai berkeliling kota dengan mobil yang ia dapatkan dari donasi, mencari klien-kliennya di bawah jembatan, di emperan toko dan di perkampungan kumuh untuk mengantar sarapan pagi mereka. Makanan hangat yang ia hantarkan adalah makanan vegetarian lezat yang tak jarang harus ia suapkan sendiri ke mulut-mulut lapar kliennya. Ia melakukan hal ini, 3x sehari, 365 hari dalam setahun, hujan maupun panas, tanpa hari libur.
Tak hanya itu, ‘bersenjatakan’ sisir, gunting, dan pisau cukur, Krishnan pun rutin menggunting rambut, mencukur jenggot bahkan tak jarang memandikan klien-kliennya. “..Untuk membuat mereka merasa masih dimanusiakan, masih ada yang peduli pada mereka dan memberikan harapan mereka untuk hidup. Makanan adalah salah satu bagiannya, bagian lainnya adalah cinta. Makanan memberikan mereka nutrisi fisik, cinta memberikan mereka nutrisi jiwa.”
Banyak dari para gelandangan yang ia layani bahkan tak tahu lagi nama dan asal mereka sendiri, sebagian besar dari mereka dalah orang-orang tua yang terbuang, gila atau sakit. Begitu lemahnya, kadang mereka tak mampu lagi meminta tolong atau mengucapkan terimakasih. Para gelandangan kadang bersikap bermusuhan atau paranoid karena kondisi, namun Krishan tak bergeming. “Kepanikan dan penderitaan dari kelaparan adalah pendorongku. Aku mendapatkan energi dari orang-orang ini, dari kebahagiaan yang terpancar dari mata mereka ketika memakan masakanku..” ujar Krishnan.
Ia pun kemudian mendirikan Akshaya Trust di tahun 2003, sebuah organisasi non profit yang ia dedikasikan untuk merawat para gelandangan. ‘Akshaya’ berarti tak dapat dihancurkan (imperishable). Biaya yang dikeluarkan oleh tim Akshaya adalah sekitar 330 USD/hari untuk memberi makan sekitar 400 orang. Dana itu hampir seluruhnya ia didapatkan dari sumbangan. Namun uang yang mereka terima rata-rata hanya bisa meng-cover 22 hari dalam sebulan. Tabungannya Krishnan sebesar $ 2500 pun telah habis untuk membiayai aktivitas organisasinya. Kekurangan dana ia dapatkan dari rumah kakeknya yang ia sewakan. Alasan itu pulalah yang memaksanya untuk menghentikan pembangunan Akshaya Home, sebuah pondokan yang ia cita-citakan untuk menampung orang-orang yang ia rawat. Krishnan bahkan tak mampu untuk membayar tim dan dirinya sendiri. Home base Akshaya Trust adalah sebuah rumah sederhana tempat ia memasak dan memandikan klien-kliennya.
Semula keluarga menentang keputusan Krishnan. Biaya yang mereka keluarkan untuk pendidikan dan menjamin masa depannya sungguh tidak sedikit. Demi mendapat restu orang tua, Krishnan pun memohon ibunya untuk datang sendiri dan melihat apa yang ia lakukan. Jatuh iba, sang ibu akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama dan membantu aktivitas putranya.
Sejak tahun 2002, Krishnan dan Akshaya Trust telah memberi makan tak kurang dari 1,4 juta orang. Dalam kondisi serba kekurangan, Krishnan merasa bahagia dengan profesi yang ia jalani. “Ada ribuan manusia yang menderita di sekitar kita. Apakah makna hidup sesungguhnya jika bukan untuk memberi? Mulailah memberi dan rasakan kebahagiaannya..” kata Krishnan sambil tersenyum.
0 comments:
Post a Comment