Penulis cerita ini waktu itu berkunjung di Gwat-bi-san di luar kota Liong di Taiwan. Di tempat itu, beliau menyebarluaskan cerita ini.
Suatu hari datang seorang perempuan bernama Nyo Siu-Hou bertemu dengan Cu-In Hwat Su (penulis asli cerita ini), dan berkata,
“Hwatsu, catatan-catatanmu tentang kejadian-kejadian aneh di Pho San amat digemari khalayak ramai, banyak pembaca yang memuji tulisanmu yang bagus itu, entah berapa banyak pembaca yang sadar setelah membaca buku itu. Ada lagi sebuah kisah nyata yang dialami seorang nenek tetanggaku, alangkah baiknya jika kisah nenek ini dapat dibukukan. Kalau engkau ada waktu, akan kuajak nenek itu kemari untuk mengisahkan pengalaman hidupnya, dengan keindahan tulisan Hwat-su, saya berharap cerita ini akan dapat menarik para peminat pembaca dan setelah membaca kisah nyata ini, yakin umat manusia akan lebih mawas diri dan dapat percaya akan adanya Hukum Karma”.
“Boleh saja,” ucap Cu-In Hwatsu, “Kamu boleh membawa nenek itu kemaei kemari kapan pun, untuk mengisahkan pengalamannya kepadaku, akan kususun kisahnya itu serta akan saya terbitkan ke dalam majalah.”
Beberapa hari kemudian Nyo-Siu Ho datang bersama seorang perempuan lanjut usia yang sudah beruban rambutnya. Setelah dipersilakan duduk Nyo Siu Ho menjelaskan kepada Cu-In Hwatsu,
“Nnek ini adalah korban dari pembunuhan itu.” Lalu memperlihatkan luka-luka di badan si nenek kepada Cu-in Hwatsu.
Lalu nenek itu mulai bercerita, Nyo Siu-Hou sebagai penerjemah, sementara Cu-in Hwatsu sibuk dengan catatannya.
Nenek itu bernama Tan Bi-Gwat, kelahiran Eng-Jun di Propinsi Hokkian, berusia 66 tahun, bersama putranya beliau tinggal di luar kota Ki Liong.
“Hwatsu,” nenek Tan Bi Gwat mulai berkisah, “aku ini perempuan malang yang selalu hidup menderita, pada usia 23 tahun, aku ikut suami berlayar ke Taiwan dan mencari nafkah di sini. Beberapa tahun lamanya suamiku bekerja keras dan berat untuk membiayai hidup keluarga.
Hingga suatu hari suamiku jatuh sakit, meski sudah berobat ke mana-mana penyakitnya bertambah parah, tabungan kami yang sedikit akhirnya habis untuk biaya pengobatan, akhirnya suami saya meninggal dunia. Waktu itu aku berumur 33 tahun.
Di masa hidupnya suamiku adalah pekerja yang tekun dan rajin. Namun, situasi dan fasilitas kerja yang tidak memadai menyebabkan suamiku jatuh sakit dan tidak dapat terobati lagi.
Selama beberapa tahun, di samping harus merawat suami yang sakit, aku pun bekerja dan mengasuh putra-putriku yang masih kecil. Betapa sengsara kehidupan kami waktu itu. Syukur para tetangga dan kerabat kerja suamiku yang baik hati bergotong-royong membelikan peti mati dan membereskan penguburan jenasah suamiku, sehingga beban yang teramat berat ini terasa sedikit ringan.
Setelah suamiku tiada, aku dan kedua anakku terpaksa menumpang tinggal di rumah adik suamiku, padahal kehidupan keluarga mereka juga pas-pasan.
Dua tahun lamanya, kami tinggal berdesak-desakan di dalam rumah yang sempit dan reyot, beberapa lama kemudian aku merasa tak mungkin kami bertiga tinggal lebih lama lagi bersama mereka. Maka aku pun memutuskan untuk pindah ke tempat yang lain yang diberikan oleh bekas teman suamiku yang baik hati. Meskipun hanya berupa pondok emperan, di sini kami bertiga harus berjuang keras untuk mencari nafkah. Pada waktu itu, putraku berumur 10 tahun, terpaksa harus bekerja sebagai pembantu kuli bangunan di tambang batu bara, sedangkan putriku berkeliling kota menjajakan makanan kecil, sedangakan aku bekerja sebagai tukang cuci pakaian dan kerja serabutan lain untuk bertahan hidup. Berkat doa sepanjang hari, meski keadaan kami masih serba kekurangan, namun jauh lebih tentram dan bebas.
Adik suamiku sering berkunjung membawa oleh-oleh untuk kedua anakku, melihat pakaian anakku yang compang-camping, makan tidak kenyang, tidur tidak nyenyak, maka dia menganjurkan supaya untuk menikah lagi. Demi masa depan anak-anakku, akhirnya aku menerima sarannya setelah didesak berulang kali, atas inisiatifnya aku diperkenalkan dengan seorang laki-laki bernama Ui-Ciok Liang.
Akhirnya kami menikah, selama beberapa tahun kami hidup rukun dan tentram, karena aku tidak melahirkan anak lagi, maka suamiku amat menyayangi putra-putriku, dan di sisi lain kehidupan kami mulai meningkat, anak-anak juga mulai dapat bersekolah.
Sehingga aku merasa lega karena masa depan putra-putriku dapat terjamin.
Pada waktu itu, sebagai pengungsi menurut aturan aku dilarang menikah dengan penduduk setempat, maka dalam catatan kartu penduduk hubungan kami hanya dianggap sebagai “kumpul kebo” (samen leven) saja, secara hukum tidak dianggap sebagai suami istri yang resmi. Karena masalah kependudukan dan formalitas penikahan itu, suamiku mulai sering marah-marah dan gundah, padahal berbagai cara dan upaya sudah kami tempuh, akan tetapi urusan itu tidak pernah selesai juga.
Kebetulan kakak suamiku bekerja di kantor catatan sipil di kota, tahu tata hukum dan peraturan kependudukan, walaupun orang dalam ia tidak mampu membantu menyelesaikan masalah itu. Kemudian ia mengajurkan adiknya untuk bercerai dengan kami dan menikah lagi dengan perempuan lain.
Karena masalah yang tidak beres itu, tidak jarang suamiku ditertawakan oleh teman-temannya, “Sudah berapa tahun kamu hidup dengan ibu dan anaknya itu, tapi hukum tidak mengakui pernikahan kalian, hanya secara adat boleh dianggap sebagai “kumpul” saja. Kenapa kamu tidak menikah lagi saja dengan perempuan yang lebih muda?”
“Secara resmi aku memang bukan suami Bi-Gwat,” kata suamiku membalas ejekan temannya itu, “tapi aku bisa membuktikan bahwa aku bisa membereskan persoalan ini.”
Orang lain malah ikut-ikutan menghasut, “Dianjurkan menikah lagi, kamu kok malah tidak mau, padahal perempuan itu lo bukan istrimu secara resmi, lalu apa artinya kamu berkeluarga?”
Suamiku menjawab, “ Kalau terpaksa aku akan membunuhnya, aku tak rela bila dia menjadi istri orang lain.”
Pada tanggal 15 bulan 8, udara pada saat itu amat panas dan tidak enak, pada malam hari itu, aku melihat rona muka suamiku agak ganjil, maka aku waspada dan siaga, karena secara diam-diam ada orang yang memberitahu padaku bahwa suamiku akan membunuhku malam itu juga. Menjelang tidur aku berkata kepada suamiku, “Sudah beberapa tahun kita tinggal sebagai layaknya suami istri resmi, betapa rukun dan damai kehidupan saat ini, masalah kependudukan dan pernikahan itu kan tidak perlu kita risaukan? Lalu apa alasannya kamu sering marah dan menyalahkannku? Ada orang yang mengatakan bahwa engkau akan membunuhku, apa benar demikian?”
“Ah jangan percaya omongan orang lain,” demikian keluh suamiku, “mereka hanya mengodamu saja, bukankah aku mencintaimu dan kau juga mencintaiku? Anak-anak juga saya pada aku, kenapa aku harus membunuhmu? Jangan hiraukan omongan orang.”
“Aku pun berpikir demikian, anak-anak patuh dan hormat padamu, soal resmi tidak pernikahan kita, kenapa harus dirisaukan?”, demikian bujukku.
Karena masalah itu telah aku bicarakan dari hati ke hati, aku merasa tidak ada gejala yang menguatirkan, selanjutnya hidup ini akan terasa lebih tentram dan damai. Dalam beberapa waktu, masalah itu tidak aku pikirkan lagi.
Pada tanggal 25 tengah malam, entah kenapa sewaktu kita semua sudah tertidur dengan lelap, mendadak aku terjaga dari tidurku dan kulihat suamiku menghunus sebilah pedang samurai, sambil bergelak tawa yang beringas secara membabi buta ia menusuk dan membacok perut, dada, pundak, kaki, tanganku, perutku tertusuk bolong dan sobek, isi perutku kedodoran keluar, sebagian malah ada ususku yang putus berceceran di lantai akibat amukan amukannya yang kalap. Entah kenapa, aku tidak merasa sakit sama sekali, tidak pingsan dan tidak berusaha lari untuk menyelamatkan diri.
Di tengah gelak tawanya yang beringas ia berkata, “Membabat rumput itu harus seakar-akarnya. Satu pun tidak boleh ada yang ketinggalan.”
Putriku yang waktu itu berusia 14 belas tahun juga diserang hingga terluka parah, dalam usahanya untuk melarikan diri sambil menjerit ketakutan, ia terjungkal jatuh dari loteng, dan nyawanya tidak dapat tertolong lagi. Melihat ibu dan kakaknya yang mati terbunuh, putraku berdiri terkesima di atas loteng, tanpa menghiraukan keadaanku sendiri, aku berteriak menyuruhnya untuk melarikan diri. Namun, suamiku mengejarnya ke atas dan dan hendak membunuhnya pula, aku mencegah dan berusaha merebut samurai dari tangannya, jari-jari tangan kananku putus karenanya. Untung putraku lolos dari maut dan ditolong oleh para tetangga yang berdatangan setelah mendengar keributan ini. Melihat banyak orang bedatangan ke rumahnya, suamiku berusaha bunuh diri dengan menusukkan samurai ke tubuhnya, akan tetapi lukanya tidak parah, polisi yang mendapat lapran itu datang dan memborgolnya.
Waktu itu aku tidak memperdulikan keadaaanku sendiri, yang kukuatirkan hanya keselamatan putra-putriku, seorang tetanggaku membujukku, “Coba kaulihat dirimu sendiri, badanmu penuh dengan lukua dan lukamu amat parah. Anak-anak sudah selamat kok tidak perlu kamu kuatirkan.”
Mendengar ucapan itu, hatiku merasa lega, rasa sakit tak dapat lagi aku tahan lagi, badan menjadi lemas lunglai, rasanya aku kehabisan banyak darah, akhirnya aku pun ambruk dan tak sadarkan diri. Polisi segera membawaku ke rumah sakit di kota untuk memperoleh pertolongan. Pada waktu itu, rumah sakit swasta di kota tidak mau menerima diriku.
Karena sudah empat jam luka-luka di tubuhku belum terawat, jangan kata dijahit ataupun dioperasi, diobati juga belum, tuibuhku berlepotan darah, keadaanku waktu itu sedang dalam kritis. Celakanya rumah sakit baru buka dan mau menerima pasien setelah jam 7 pagi, kira-kira jam sebelas siang, administrasi baru selesai dibereskan, aku akhirnya digotong ke kamar operasi, dokter lalu menjahit dan mengoperasi luka-luka di tubuhku.
Direktur rumah sakit datang menjenguk keadaaanku, sebagai ahli dokter bedah ia juga sibuk menolongku, operasi dilakukan beberapa jam, aku harus menjalani transfusi darah, perutku yang bolong dioperasi dan dijahit, sebagian usus ada yang putus harus dipotong dan dibuang, sebagian lagi malah ada yang membusuk. Keadaanku amat gawat, dokter menilai dengan kondisiku waktu itu, jiwaku tak mungkin dapat ditolong lagi, maka operasi diselesaikan secara terburu-buru, isi perut yang kedodoran keluar dimasukkan begitu saja lalu dijahit secara kasar, maklum mereka beranggapan hidupku tinggal beberapa jam lagi.
Malam harinya, aku dipindah ke kamar mayat untuk menunggu ajal, kebetulan suamiku yang mencoba bunuh diri dengan luka-luka yang tidak terlalu parah, disekap di kamar sebelah, samar-samar seseorang bertanya kepadanya, “Kenapa kau ingin membunuh istrimu?” suamiku menjawab, “Perempuan itu bejat! Kotor dan jahat! Maka aku pun membunuhnya. Apakah wanita itu dapat tertolong?” lalu orang itu menjelaskan, “Mana mungkin dapat tertolong. Dokter mengatakan bahwa tengah malam nanti jiwanya pasti akan melayang.” Maka suamiku menyampaikan pesan kepada suster tadi, untuk memberikan kabar lagi besok pagi. Dari nada bicaranya aku merasakan bahwa laki-laki itu tidak menyesal sedikitpun, malam itu tidak terdengar lagi ocehannya, mungkin sudah tertidur pulas dan mimpi indah, hasratnya sangat besar untuk membunuhku.
Meski aku dalam keadaaan sekarat, pembicaraan mereka dapat kudengarkan dengan jelas, betapa pedih dan dendam hatiku mendengar tuduhan suamiku yang kejam itu, rasanya aku ingin mengaruk putus benang jahitan operasiku biar aku lekas mati, sayang tenagaku tak mampu aku kerahkan, jari tanganku pun tak mampu aku gerakkan, terpaksa aku hanya menanti ajal.
Waktu suster dinas malam datang, rekannya yang tiba saatnya istirahat memberitahau, “Ada pasien perempuan di kamar sebelah, menurut dokter jiwanya tak dapat tertolong lagi diperkirakan menjelang tengah malam ajalnya akan tiba, dokter berpesan agar engkau memperhatikan keadaannya, kapan dia menghembuskan nafas terakhirnya, secara tepat dibuatkan laporan.” Beberapa waktu kemudian, suster yang dinas malam pulang ke rumahnya mengajak suaminya sebagai teman jaga malam, menunggu ajalku.
Aku tahu ajalku tidak lama lagi, aku penasaran, aku merasa menyesal, hidupku sangat menderita dan sengsara, jiwaku seperti tidak berharga lagi. Suster yang mengajak suaminya jaga malah tertidur pulas, tidak menuaikan kewajibannya sebagaimana semestinya, kalau sewaktu-waktu jiwaku melayang, entah bagaimana dia akan bertanggungjawab. Setengah jam menjelang tengah malam, lahir batinku mendadak menjadi jernih, tiba-tiba teringat olehku akan dewi Kwan Im yang welas asih dan selalu menmberi pertolongan pada umatnya. Sejak kecil aku adalah seorang umat buddhis yang saleh dan selalu rajin sembahyang, aku pun memejam mataku dan mulai berdoa secara terus-menerus, secara tidak terduga, terjadilah keajaiban, samar-samar aku merasakan adanya perubahan di kamar mayat itu, waktu aku sedikit membuka mataku, tidak kudapatkan lagi orang di kamar itu, namun cahaya cemerlang membuat kamar mayat itu terang benderang, sekonyong-konyong tampak Dewi Kwan Im muncul dan berada di pinggir pembaringanku, di belakangnya tampak berbaris beberapa bayangan orang, semua bersikap khidmad menunduk membaca doa, Dewi Kwan Im memegang selembar daun pisang yang diangsurkan kepadaku.
Aku pun merasa heran, kenapa daun pisang diberikan kepadaku, lalu Dewi Kwan Im menjelaskan kepadaku, “Ini bukan daun pisang, tetapi pusaka yang tidak terdapat di dunia, bentuknya memang mirip daun pisang di dunia.” Begitu aku menerima pusaka mirip daun pisang itu, seketika aku merasa deritaku banyak berkurang. Samar-samar aku masih ingat seperti menginggau sendiri, “Oh tidak ada di dunia, syukurlah.” Lalu aku tidur pulas dengan tenang. Keesokan pagi harinya, segala derita tidak kurasakan lagi, bukan saja ajalku tidak tiba tengah malam tadi, keadaanku malah lebih segar, tenang dan sadar, namun tubuhku masih terasa lemas.
Pada hari ketiga, rumah sakit itu menjadi geger, dokter spesialis yang diutus Departemen Kehakiman di Taipe segera datang, lima orang dokter memeriksaku secara bergiliran lalu mengoperasiku lagi. Maklum secara medis belum pernah ada pasien yang terluka seperti kondisiku dapat bertahan hidup dari waktu yang diperkirakan pihak rumah sakit. Kenyataanya aku terus bertahan hidup hingga beberapa hari lagi, kasus ini mengemparkan kalangan kedokteran dan masyarakat. Walikota Ki Liong menyempatkaj waktunya untuk datang menjengukku serta menghiburku, “Dulu engkau pasti pernah melakukan kebaikan, maka dewa melindungimu. Ditinjau kondisimu saat ini, mustahil kalau orang biasa dapat hidup. Kenyataannya kamu masih hidup, agaknya rejekimu besar sekali.”
Mendengar ucapan walikota aku menjadi terharu dan menangis sesengukan, terbayang olehku betapa menderitanya hidupku selama ini, suami mati keluarga berantakan, kapan aku pernah menerima rejeki sebesar ini?
Walikota lalu menghiburku lagi, “Sebagian usus dan perutmu sudah membusuk, kau tidak boleh banyak bergerak, jangan sedih putra-putrimu sudah tertolong dan selamat.”
“Jangan membohongiku,” kataku sedih, “aku tahu putriku telah meninggal dan telah diperabukan.”
“Syukurlah kalau kau sudah tahu, agaknya putrimu tidak punya rejeki sebesar dirimu, dengan uang pribadiku akan kubayar seluruh biaya pengobatanmu. Dokter memberitahuku, orang yang perutnya bolong dan usus kedodoran yang membusuk, jiwanya tak mungkin dapat diselamatkan lagi. Tapi engkau tidak mati, kejadian ini sungguh sangat aneh, aku yakin rejekimu memang besar.”
Walikota betul-betul menepati janjinya, semua biaya pengobatan di rumah sakit itu telah dilunasi semua, waktu pulang aku diberi oleh-oleh dan uang, setiap Sin Cia (Tahun Baru Imlek) beliau selalu mengirim kado untuk kami berdua sebagai ucapan selamat.
Beberapa hari kemudian, keadaaanku berangsur-angsur membaik, kudengar suamiku bertanya pada suster, “Tengah malam yang kemarin, apa wanita jahat itu sudah mampus?”
Suster yang dinas malam itu menjawab, “Sungguh sangat aneh, bukan saja tidak mati, ia malah sembuh lebih cepat dibanding orang lain, keliatannya tidak kesakitan lagi.”
Suamiku mengertak gigi, suaranya terdengar geram, “Hm, agaknya aku gagal membunuhnya, lain kali akan kupenggal kepalanya, kalau leher sudah putus apa dia masih bisa hidup?”
Kuatir suamiku berbuat jahat lagi, pihak rumah sakit memborgol kaki dan tangannya. Entah dari siapa ia tahu bahwa kamarku akan dipindahkan ke lantai dua besoknya, dengan geram ia berkata, “Pisau aku tidak punya, tapi dengan borgol besi ini aku dapat memukul hancur perut dan dadanya, buktikan saja apa dia masih dapat hidup?”
Pada suatu hari keadaan sepi, diam-diam suamiku naik ke lantai dua untuk mencari kamarku, untung sebelum berbuat jahat dia kepergok penjaga lalu menghajarnya jatuh ke bawah loteng, sejak saat itudia diisolir dalam kamar tersendiri. Setelah sembuh, suamiku diajukan ke meja hijau dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Setelah sembuh, aku akhirnya pulang ke rumah, siang malam aku tak lupa berdoa atas apa yang telah aku terima saat ini, sejak mengalami musibah itu aku merasa semakin merana, sedih, dan sering berkeluh kesah kenapa musibah itu menimpa diriku? Aku berpikir sejak kecil aku tidak pernah melakukan kejahatan, kenapa aku harus mengalami penderitaan dan sengsara? Yang paling kasihan adalah putriku yang ikut menjadi korban.
Keliataannya aku sudah sembuh dan boleh pulang, tapi karena dokter tidak bekerja secara cermat waktu mengoperasi perutku, meletakkan isi perut tidak pada posisi semula, kondisi badanku menjadi tidak normal, ada bagian perut yang menonjol, ada bagian yang kosong, setiap habis makan ataupun sedang batuk, bagian perut yang dioperasi terasa sakit, demikian pula saat tidur, saat membalikkan badan, isi perutku bergerak naik turun pindah posisi, sungguh sangat menyiksa sekali. Karena tidak tahan aku pun kembali ke rumah sakit, dokter yang memeriksa menjelaskan, “Waktu itu, para dokter yakin jiwamu tidak dapat tertolong lagi, maka isi perutmu tidak dikembalikan pada posisi semula.” Akihat dari keteledoran dokter, aku harus menjalani tiga kali operasi besar dan tiga belas kali operasi kecil. Pada umumnya, orang yang menjalani operasi sebanyak itu jiwanya susah diselamatkan.
Mungkin karena aku orang miskin, orang dusun lagi, badanku dijadikan alat percobaan dan permainan lagi, beberapa kali perutku dibedah dan dijahit sembarangan. Ahh,,, Betapa menderitanya aku kala itu.
Suatu hari, seperti biasa aku berdoa dengan khidmat, mendadak aku jatuh dan pingsan. Dalam keadaan tidak sadar itu, aku mendapat diriku seorang pemuda yang menyandang panah dan busur sedang berburu di tengah hutan, ditemani dengan seorang pembantu yang membawa parang. Di hutan pemuda itu melihat seekor orang utan yang bertengger di atas pohon, ia kemudian membidikkan panah ke arah orang utan itu, orang utan itu pun jatuh terpanah dari atas pohon, meski orang utan itu terluka akan tetapi tidak mati seketika, maka pembantu itu memburu ke sana, orang utan itu ditusuk dan dibacoknya dengan parang hingga mati. Bebeapa waktu kemudian, datang lagi orang utan yang lebih besar hendak menuntut balas kematian anaknya, pemuda itu lari terbirit-birit ketakutan dikejar orang utan besar itu, sampai di pinggir sungai ia terpaksa terjun ke dalam air, orang utan itu juga terjun ke air serta mencekik leher pemuda itu….
Kemudian aku pun siuman, aku pun duduk dan berpikir sejenak apa yang telah aku alami barusan. Akhirnya aku pun tersadar bahwa tadi aku diberi petunjuk, bahwa hidupku di masa lalu adalah seorang pemuda, putriku adalah seorang pembantu, sedang orang utan tadi adalah suamiku. Aku melukainya dengan bidikan panah, sedang pembantuku membunuhnya dengan parang.
Setelah mengalami kejadian itu, aku pun sadar dalam kehidupan masa lalu, sebagai pemburu binatang, entah berapa banyak jiwa yang tidak bersalah melayang di tanganku, maka pada kehidupanku saat ini aku selalu menderita dan sengsara, semua ini adalah akibat dari hukum karma sebab akibat. Semenjak itu, aku pun selalu berdoa dan melakukan kebaikan.
Dari cerita di atas, kita dapat memetik sebuah pelajaran bagi diri kita, agar kita harus selalu untuk berdoa (sesuai dengan agama dan kepercayaan kita masing-masing) dan hendaknya kita selalu melakukan kebaikan bagi semua makhluk hidup dan sesama kita…
Agar hidup kita pun bahagia tanpa adanya perasaan dendam, benci, permusuhan…
0 comments:
Post a Comment