Pada suatu senja, ada seorang Ayah yang sedang duduk dengan putranya yang berumur 1,5 tahun di beranda rumahnya. Di pohon mangga di depan mereka duduk, hinggaplah seekor burung pipit.
Sang anak kemudian bertanya kepada sang Ayah, “Ayah… burung apakah itu?”. “Itu burung pipit nak…”, jawab sang Ayah. Setelah sepuluh menit berlalu, sang anak kembali bertanya kepada sang Ayah, “Ayah… itu burung apa ya?”. Kembali sang Ayah menjawab, “Itu burung pipit nak…”. Kemudian setelah sepuluh menit berselang, kembali sang anak bertanya hal yang sama, “Itu burung apa yah?”. Dengan sabar dan lembut, sang Ayah kembali menjawab, “Itu adalah burung pipit nak…”. Sang anak pun kembali bertanya ingin tahu, “Dia rumahnya dimana yah? Dia makannya apa? Dia punya ibu nggak? Dia punya ayah?”. Banyak pertanyaan yang di tanyakan oleh sang anak ingin tahu. Sang Ayah pun menjawab setiap pertanyaan sang anak dengan sabar dan lembut.
Tahun demi tahun berganti, sang anak pun semakin dewasa. Hingga satu saat sang anak merantau untuk menuntut ilmu di sebuah kampus.
Ketika libur kuliah tiba, sang anak pun pulang ke kampung halamannya.
Pada suatu sore, sang anak dan sang Ayah duduk di beranda rumah seperti kala sang anak berusia 1,5 tahun. Kebetulan ada seekor burung gereja yang hinggap di pohon mangga di depan mereka duduk.
Sang Ayah pun bertanya pada sang anak, “Putraku… burung apakah itu?”. “Itu burung gereja yah..”, jawab sang anak. Sepuluh menit kemudian, sang Ayah kembali bertanya kepada sang anak, “Nakk… itu tadi burung apa?”. “Itu burung gereja Ayah…”, jawab sang anak. Setelah 10 menit berselang, kembali sang Ayah bertanya, “Aduh nakk, ayah lupa lagi… itu tadi burung apa yaa?”. “Itu burung gereja yah… Masa dijelasin dari tadi Ayah nggak paham-paham…”, jawab sang anak dengan kasar nampak jengkel.
Setelah jawaban itu, sang Ayah langsung masuk ke kamar kemudian membuka sebuah buku tua yang ternyata adalah “Diary” sang Ayah. Dibukalah catatan sang Ayah sekitar 20 tahun yang lalu. Kemudian diberikan catatan tersebut kepada sang anak. Disana tertulis: “Pada sore itu, aku duduk bersama puteraku tercinta di beranda rumah. Lalu hinggaplah seekor burung pipit pada pohon mangga rindang di depan rumah. Puteraku pun bertanya kepadaku ingin tahu. Berkali-kali dia bertanya pertanyaan yang sama, namun tetap dengan sabar dan lembut aku menjawabnya. Lalu pertanyaan demi pertanyaan pun terus dia berikan kepadaku. Tetap aku menjawabnya dengan lembut dan sabar …”. Mambaca “Diary” sang Ayah tersebut, sang anak pun langsung meneteskan air matanya.
Begitu sabar dan penyayangnya orang tua terhadap anaknya. Dan kasih sayang itu tak akan lekang oleh waktu. Namun kebanyakan anak tidak memikirkan itu, dan justru menyianyiakan orang tuanya. Seperti menititipkan Ayahanda ataupun Ibunda ke panti jompo. Atau ketika Ayahanda ataupun Ibunda menyuruh kita sesuatu, kita menolak dengan kasar, kita membantahnya, kita menyakiti hatinya.
Maka janganlah engkau menyiakan orang tua kita. Karena ketika beliau tiada, barulah penyesalan yang pahit yang kita rasakan. Sayangi dan cintai orang tua kita, patuhi setiap perintah beliau, bahagiakan beliau, buatlah beliau meneteskan air mata bangga juga bahagia.
0 comments:
Post a Comment